Oleh :
Syaikh Muhammad Musa Nasr
Sesungguhnya kita akan menyambut tamu yang mulia, yang hilang dan tidak datang kepada kita melainkan sekali saja dalam setahun. Ia (tamu yang) jarang mengunjungi kita, hingga kita sangat merindu padanya. Tamu yang membuat hati berdebar-debar karena begitu cinta padanya. Leher-leherpun melongok untuk melihatnya, (demikian juga) mata mengamat-amati untuk melihat hilalnya, dan jiwa-jiwa yang beriman beribadah kepada Rabbnya pada saat itu.
Tamu yang mulia dan diberkahi ini telah diketahui dengan pasti oleh orang beriman, karena merekalah yang menunaikan haknya dan mengagungkannya dengan pengagungan yang semestinya, serta memuliakan utusannya secara jujur dan adil.
Sesungguhnya Allah mengangkat derajat tamu ini dalam Al Qur’an dan melalui lisan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , kemudian Allah menjadikan kebaikan seluruhnya ada padanya, baik di awalnya, tengahnya ataupun akhirnya. Allah berfirman :
شَهْرُ رمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتِ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَان
ِ
Tidak disangsikan lagi, tentunya anda tahu -wahai saudaraku- siapakah gerangan tamu itu?! Akan diperlihatkan (dalam risalah ini insya Alloh, pent) apa saja kekhususan dan keutamaannya! ! Agar anda bersiap sedia untuk menyambut dan menyingsingkan lengan anda secara sungguh-sungguh untuk memperoleh keutamaan-keutamaan nya dan agar anda memperoleh apa yang Allah janjikan padanya berupa kebaikan, barakah dan rahmat.
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa hingga ru’yah (melihat) hilal dengan penglihatan yang pasti, atau dari berita seorang yang adil dalam penentuan awal bulan Ramadhan, atau menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam merasa cukup dengan persaksian satu orang, ini merupakan hujjah diterimanya khabar ahad. Tersebut dalam hadits shahih bahwa kaum muslimin berpuasa hanya dengan ru’yah yang dilakukan oleh seorang Arab Badui yang datang dari padang pasir, kemudian ia memberitahukan kepada Nabi bahwa ia telah melihat hilal, maka beliau memerintahkan Bilal agar mengumumkan untuk puasa.
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang umatnya untuk mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya) dengan alasan berhati-hati, kecuali apabila ia merupakan kebiasaan salah seorang diantara kalian, oleh karena itu dilarang berpuasa pada hari yang diragukan.
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berniat puasa pada malam hari sebelum fajar dan memerintahkan kepada umatnya (untuk berniat), dan hukum ini khusus untuk puasa wajib. Adapun puasa nafilah (sunnah) maka tidak wajib.
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menahan dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan puasa hingga ia melihat fajar shadiq dengan penglihatan yang pasti, sebagai pengimplementasian firman Allah :
كُلُوْا وَ اشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar” (Al Baqarah : 187)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menerangkan pada umatnya bahwa fajar ada dua yaitu shadiq dan kadzib. Selama fajar kadzib, tidak diharamkan makan, minum dan jima’. Rasulullah tidak pernah memberatkan umatnya baik dalam bulan Ramadhan atau selainnya, beliau tidak pernah mensyariatkan apa yang dinamakan oleh kaum muslimin ini sebagai adzan (seruan) imsak.
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, serta memerintahkan umatnya untuk melaksanakan hal ini. Beliau bersabda :
لاَ تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفُطُوْرَ
“Senantiasa umatku selalu selalu dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka”.
- Jarak antara sahur beliau dan shalat fajar (shubuh) adalah kurang lebih seperti membaca 50 ayat.
- Adapun tentang akhlak beliau, maka ceritakanlah dan tidak mengapa. Sungguh Rasulullah adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Betapa tidak, padahal sungguh akhlak beliau adalah Al-Qur’an, sebagaimana disifatkan oleh Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau telah memerintahkan umatnya supaya berakhlak baik, terlebih lagi bagi orang yang sedang berpuasa, beliau bersabda :
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَعَمِلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةً فِى أَنْ يَدَعْ طَعَامَهُ وَشَرَابَه
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan melakukannya, maka Allah tidak memerlukan ia meninggalkan makanan dan minumannya”.
- Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjaga keluarganya dan memperbaiki cara bergaulnya dengan mereka pada bulan Ramadhan melebihi bulan lainnya.
- Puasa yang beliau kerjakan tidak menghalanginya mencium istri-istrinya atau menyentuh mereka. Namun beliau adalah seorang yang paling mampu mengendalikan syahwatnya.
- Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak meninggalkan siwak baik pada bulan Ramadhan atau selain bulan Ramadhan, beliau senantiasa mensucikan mulutnya.
- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berbekam dalam keadaan berpuasa, dan beliau memberi keringanan bagi orang yang bepuasa untuk berbekam, adapun hadits yang menyelisihi hal ini telah mansukh (terhapus).
- Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berjihad di bulan Ramadhan, dan memerintahkan sahabatnya untuk berbuka agar kuat dalam menghadapi musuh.
- Diantara rahmat beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada umatnya, yaitu bagi musafir diberi keringanan untuk tidak berpuasa, demikian juga orang yang sakit, laki-laki dan perempuan tua (jompo), perempuan hamil dan menyusui. Bagi musafir harus mengganti puasanya (dihari lain), sedangkan orang yang sudah lanjut usia, perempuan hamil atau menyusui yang khawatir terhadap diri dan bayinya, maka ia mengganti puasanya dengan memberi makan (fakir miskin).
- Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersungguh-sungguh dalam ibadah dan shalat malam pada bulan Ramadhan melebihi kesungguhannya pada bulan-bulan lainnya, terutama pada 10 malam terakhir, beliau mencari Lailatul Qodar.
- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beri’tikaf pada bulan Ramadhan, khususnya 10 hari yang terakhir. Pada tahun dimana beliau wafat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beri’tikaf selama 20 hari. Beliau tidaklah beri’tikaf melainkan dalam keadaan berpuasa.
- Adapun dalam hal mengulangi (bacaan) Al-Qur’an, maka tidak ada seorangpun yang memiliki kesungguhan seperti kesungguhan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Jibril menemui beliau untuk mengulangi Al Qur’an dalam bulan Ramadhan, dikarenakan bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an.
- Adapun kedermawanan beliau dalam bulan Ramadhan tidaklah dapat digambarkan. Beliau seperti angin yang berhembus (membawa kebaikan), sebagaimana keadaan orang yang tidak takut miskin.
- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah mujahidin yang paling agung, puasa tidaklah menjadi penghalang baginya dari mengikuti peperangan-peperang an. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengikuti 6 peperangan dalam 9 tahun, semuanya di bulan Ramadhan. Demikian pula beliau melakukan amalan-amalan yang besar di bulan Ramadhan, diantaranya penghancuran Masjid Dhirar (masjid yang didirikan orang-orang munafik), penghancuran berhala terbesar di Jazirah Arab, menyambut utusan-utusan, menikah dengan Hafshah Ummul Mu’minin, dan membebaskan kota Mekkah (dari kekuasaan musyrikin) pada bulan Ramadhan.
Ringkasan : Bulan Ramadhan adalah bulan kesungguhan, bulan jihad dan bulan pengorbanan bagi kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak sebagaimana yang difahami oleh mayoritas kaum muslimin pada zaman ini, yang memahami bulan Ramadhan adalah bulan istirahat, bulan bermalas-malasan, kelemahan dan pengangguran.
Ya Allah berilah petunjuk kepada kami untuk mengikuti Nabi-Mu dan hidupkanlah kami di atas sunnahnya, dan wafatkan kami diatas syariatnya
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
(dialihbahasakan dari Majalah Al-Ashalah edisi III hal 66-69)
(SumberL abusalma wordpress com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar